Akhirnya tatkala pandangan dunia dan ideologi yang be-nar itu dapat dicapai, seseorang akan melangsungkan usa-hanya hingga sampai ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh jenjang-jenjang sair-suluk sehingga dapat menyak-sikan –tanpa melalui konsep-konsep mental– berbagai hakikat yang
Maka mujahadah merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan. Mujahadah merupakan amalan baik lahir maupun batin. Tujuannya untuk mencapai karunia Allah. Karunia itu bisa berupa mahabbatullah, mukasyafah, musyahadah, dan ma’rifah. Jika seseorang telah mencapai maqam ini, maka daya batinnya dapat diberdayakan secara maksimal.
Tiaptiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Al-qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tanpa menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama islam sendiri. [1] BAB II. Dan terkadang melalui metode mukasyafah (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi. Metode
NabiMuhammad mendapatkan wahyu dan juga hijrah tersebut sebagai bentuk tanggapan terhadap masyarakat Arab yang saat itu kurang berkenan dengan ajaran Islam. Hikayat hijrahnya Nabi Muhammad pun memberikan dampak berupa Islam mulai menunjukkan kekuatanya, serta negara Islam atau daulah islamiyah pun terbentuk. Musyahadah
SYEIKHAL-QUSHAIRI Musyahadah ialah kehadiran al-Haq didalam hati tanpa rasa bingung dan buntu. Peringkat awal dimulai dengan Muhadarah ( kehadiran hati) kemudian disusuli dengan Mukasyafah (kehadiran hati yang disertai dengan kejelasan) dan yang terakhir musyahadah. 10.
Hasildari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Marilah kita simak, apakah arti dari punakawan itu dan arti dari nama-nama tokoh dalam punawakan
. Uploaded byZulfa 100% found this document useful 2 votes1K views4 pagesDescriptionSemoga bermanfaat Copyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document100% found this document useful 2 votes1K views4 pagesMUSYAHADAHUploaded byZulfa DescriptionSemoga bermanfaat Full descriptionJump to Page You are on page 1of 4Search inside document You're Reading a Free Preview Page 3 is not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
MUSYAHADAH Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi, karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang islam jika orang tsb belum menyatakan akan akan dua kalimat shahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah dibutuhkan ,sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatanya dari yg kedua tadi. Akan tetapi kata mushahadah disini berarti penyaksian, yg berartikan bahwa suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yg tidak diragukan lagi Di dalam Al Qur'anul Karim disebutkan tentang musyahadah/penyaksian seperti Ayat di bawah ini "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." Thaha 12 "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."Al-Baqarah 115 "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." Al-An'aam 79 Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak "Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta." Musyahadah yaitu Menyaksikan Allah" hubungan dengan mukasyafah, yang menghalangi diri hamba dengan Allah itu tidak ada,namun yang menghalangi adalah prasangka adanya sesuatu selain Alloh, dan Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkanpantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya. Kesadaran menyaksikan dan Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah kondisi ruhani masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya. Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk." Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah. Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam "Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah. Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah." Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran Mufatahah artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya. Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu." Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia batin dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yangdisabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya." Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud." Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti." Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan nyatalah pada pandangan tentang Wujud yang terang.
MUHADHARAH, MUKASYAFAH, DAN MUSYAHADAH Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan ketersingkapan, kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran Al-Haqq dalam hati tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” rahasia ketuhanan bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan. Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “Wujud Al-Haqq bersama kelenyapanmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjukkannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.” Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musyahadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan Amru bin Utsman Al-Maki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambung menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” kiasan tentang kontinuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair malamku dengan wajah-Mu terbit bersinar cahaya kegelapannya pada manusia berjalan di waktu malam manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibutuhkan lagi.” Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung taftiqah perpisahan, lihat pasal arqu karena bab mufa’alah timbangan kata dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan AI-Haqq adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan ketika menjadi terang pagi hari cahayanya memancar dengan sinar-sinar yang berasal dari pantulan sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelasdemi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang secepat orang yang pergi menghilang Gelas apapun akan mencabut mereka dari akamya dan membuat mereka fana’ hancur. Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka, tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada , adalah seperti yang dikatakan sufi “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.” ………………. Keterangan Dalam pengertian ini Allah berfirman “Kalau sekiranya Kami turunkan AI-Quran ini pada gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk tersungkur terpecah belch disebabkan takut kepada Allah.” QS. AI-Hasyr- 21 sumber
MUKASYAFAH Mukasyafah merupakan salah satu cara dari proses menuju Ma’rifatulloh. Ma’rifat memiliki hubungan erat dengan mukasyafah. Dimana merupakan ajaran atau jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat Al-qudsiyat hadirat kesucian atau hadharat ar-rububiyat atau hadirat ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan. Namun mukasyafah dapat terhalang oleh hati yang sifatnya qolb atau selalu berbolak balik dengan segala keinginan,kemauan,resah,gelisah bimbang dan karenanya pada kesempatan kali ini mari kita coba menguraikan apa itu mukasyafah, bagaimana terjadinya mukasyafah, dan penghalang mukasyafah. Mukasyafah secara lughawi bahasa, istilah mukasyafah bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang gaib. Mukasyafah berarti kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu. Istilah ini berasal dari kata “kasyf” berarti tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki. Dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang mukasyafah yaitu, “Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. Dalam Tafsir al-Qurthubi, di jelaskan“Maka terbukalah hijab tutupan, lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu mukasyafah”. Dahlan Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry, dalam kitabnya Siraj Ath-Thalibin mengatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh merupakan hasil makrifatullah ta’ala, makrifat kepada asma-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan makrifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutpan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi “. Di dalam kitab ihya ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan djauqy yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”. Selanjutnya Syaikh AL-Kiram Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini “Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ightirar berhati lalai.” Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham,laduni dalam bashiroh,muhatthab dan rukyatus terjadi pada jiwa yang mutmainnah yaitu jiwa yang tenang tenteram. Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional. Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia. Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq terang ,jelas,terang,tanpa memerlukan pemikiran,dalil atau burhan dan bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya. Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril aqly diatas puncak akal. Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT. Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ujub rasa hebat sendiri yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan Ilmu terbagi atas tiga macam Pertama ilmu dhohir lahir yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.
Antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua maqam keadaan yg tidak dapat dipisahkan atau dalam artian saling berkaitan. Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH penyaksian jika tak terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir. Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir jika tidak adanya MUSYAHADAH penyaksian. MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/fakasyafna terbuka tirai, yaitu tersingkapnya tirai/penghalang yg telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yg disebutkan dalam Al-Qur’an فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ “Maka Kami singkapkan tutup yg menutupi matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” QS. Qaf 22 Menurut istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yg menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian² menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah pengenalan kepada Allah. Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fit Tauhid. Dengan demikian, fana dalam pemahaman Imam Al-Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yg tinggal dalam kesadaran hanya yg Esa. Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam alam ghaib, yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan alam ruhani. Adapun pintu yg lain terbuka ke arah panca indra yg berkaitan dengan alam dunia fisik yg merupakan cerminan pantulan apa yg ada di alam kemalaikatan Lauhul Mahfudz. Pintu yg terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal keajaiban mimpi yg benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati di tengah tidur akan hal² yg akan terjadi di kemudian hari atau kejadian² ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi. Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan. Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening. Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari. Kasyf Aqli Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya pendakiannya. Kasyf Bashari Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan. Musyahadah MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 115 Juga Allah berfirman إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” QS. Al-An’am 79 Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu “Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.” Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah. Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yg bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Dalam hal ini Syaikh Ibnu Atha’illah menyatakan Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu. Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu. Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya. Kesadaran MUSYAHADAH menyaksikan dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah kondisi ruhani masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya. Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.” Kontemplasi pengosongan diri tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil. Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.” Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.” Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain. MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya. MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untukmelihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.” MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia bathin dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.” MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya. Demikianlah keterangan tentang keadaan maqam MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH, semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua. Wallaahu a’lam
arti musyahadah dan mukasyafah